Sukses Ubah Tradisi dengan Program Dhurung Elmo
SORE itu (13/9), ibu-ibu dan anakanak sedang serius membaca buku di sebuah dhurung. Tidak ada kursi sama sekali di dalam ruangan yang tidak luas itu. Ukurannya hanya sekitar 3 x 3 meter. Di salah satu sudut ruangan terbuka itu, terdapat rak yang tertata rapi beberapa buku. Mulai buku anakanak sampai resep memasak.
Dhurung merupakan tempat serupa saung atau joglo yang tersebar di seantero Bawean. Hampir semua warga di Pulau Putri memiliki dhurung. Dhurung berfungsi sebagai ruang interaksi masyarakat Bawean.
Nursida, salah seorang pengajar muda angkatan X yang ditempatkan di Pulau Gili, Bawean, mengatakan, dhurung milik warga yang strategis bagi anak-anak dipilih sebagai tempat layaknya perpustakaan. ”Inginnya sih di awal kami membuat perpustakaan. Entah itu perpustakaan umum atau perpustakaan di sekolahsekolah,” ungkap perempuan asal Ternate yang akrab disapa Hida itu.
Masalahnya klasik. Tidak ada respons dari pemerintah. Para pengajar muda itu pun berinovasi agar bisa mewujudkan maksud dan tujuan mereka. Dhurung pun dipilih dan difungsikan bagai perpustakaan. Apalagi, mereka menginginkan program yang melibatkan banyak pihak di Bawean. Bukan hanya Indonesia Mengajar, melainkan juga perangkat desa dan para warga.
Mereka pun menamakan ”perpustakaan-perpustakaan” di Bawean dengan
berarti ilmu dalam bahasa setempat. dimaksudkan sebagai tempat sumber ilmu.
Awalnya memang terasa berat. Sebab, pengajar muda yang berjumlah enam orang itu hanya mengomunikasikan kepada masyarakat. Benar-benar tanpa birokrasi. Mereka mengumpulkan buku dari beberapa kawan, menyebar ke berbagai dhurung di dua kecamatan. Kerja keras mereka mulai terlihat setelah setahun.
Sekarang ada 12 dhurung elmo yang tersebar di 12 dusun Pulau Putri, sebutan Bawean. Dari yang awalnya hanya satu pihak yang bergerak, kini masyarakat sudah menikmati tempat itu. Bahkan, kepala desa Gunung Teguh pernah meminta setiap dusun di desanya mendirikan dhurung elmo. ”Sekarang saja kami masih bingung pembagian bukunya. Sebab, bukunya masih sedikit. Tapi, senang apresiasi seperti itu,” papar perempuan 25 tahun itu.
Menurut M. Syaifullah, salah seorang warga pengelola dhurung elmo di Pulau Gili, kegiatan dhurung elmo termasuk efektif bagi anak-anak. ”Daripada menyuruh orang tua untuk menyekolahkan anak, mending seperti ini. Karena setiap hari mereka berkumpul dan bisa membaca di sini,” jelas Syaifullah.
Ada dua relawan di Bawean dan tiga di Gresik untuk mengurus pengiriman buku setiap tiga bulan sekali. Terakhir mereka mendapat sekitar 200 eksemplar buku.
Respons dari luar Bawean untuk menyumbang buku sangat tinggi. Terbukti, jumlah buku setiap periode pengiriman selalu meningkat. Bantuan buku tidak hanya datang dari Gresik, Surabaya, dan sekitarnya. Tetapi, buku-buku juga didapat dari luar provinsi, luar pulau, dan bahkan dari Singapura. (*/ c6/dio)