Perpustakaan Digital Belum Terasa Kehadirannya di Indonesia
Dunia Perpustakaan | Tulisan asli dari tulisan ini berjudul “Apakah di Indonesia ada Perpustakaan Digital ?”. Tulisan ini merupakan tulisan dari seorang pakar di bidang ilmu perpustakaan bernama Putu Laxman Pendit yang dikutip langsung dari catatan pibadinya di akun facebook pribadinya (25/9/14).
Mungkinkah sebuah masyarakat dapat memiliki “perpustakaan digital” (digital library), jika masyarakat itu bahkan tidak (merasa) memiliki “perpustakaan”? Kita seringkali hanya berkonsentrasi pada aspek teknologi dan lupa bahwa keberadaan semua jenis perpustakaan ditentukan oleh kebergunaannya, dan kebergunaan ini seringkali melibatkan aspek “non teknis”.
Sepengetahuan saya, penggunaan komputer di perpustakaan sudah mulai sejak 1970an, khususnya untuk data bibliografis. Jasa katalog yang dapat diakses dari luar perpustakaan, atau online public access catalogue (OPAC) sudah diperkenalkan dan dicobakan ke beberapa perpustakaan sejak 1980an, dan sistem terintegrasi sudah mulai muncul di pertengahan 1990an, lengkap dengan manajemen sirkulasi dan akuisisinya.
Lalu, Internet pun hadir di penghujung 1990an, dan jaringan antar-perpustakaan mulai bermunculan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran untuk berbagai data bibliografis. Situs-situs perpustakaan tumbuh bak jamur di musim hujan.
Mari kita fast forward ke 2014 …. apa yang kita punya sekarang?
Tak banyak berbeda : komputerisasi pekerjaan di perpustakaan semakin lumrah. Sudah amat sulit menemukan perpustakaan yang tidak memiliki komputer atau akses ke Internet. Alat-alat berbantuan komputer, seperti meja peminjaman swalayan, gerbang proteksi di pintu keluar, pelacak lokasi buku, sampai mesin penggandaan kartu anggota, sudah cukup lumrah.
Langganan jurnal online seharga milyaran rupiah pun lancar-lancar sajamembuat senyum para vendorssemakin lebar! Demikian pula para penjaja sistem terintegrasi (library integrated system), semakin lebar senyumnya (dan tebal kantongnya) mengingat semakin banyak perpustakaan terpikat janji-janji profesional mereka.
Tetapi, kembali ke judul artikel ini : apakah kita sudah punya perpustakaan digital?
Sebagian pihak terkesan malu-malu dan mengaku, “Ah… baru punya e-library, kok!” Atau merendah dengan mengatakan, “Sedang menuju ke situ… Sekarang baru otomasi dulu.” Sebagian lagingeles dengan mengatakan bahwa mereka sedang membangun situs perpustakaan.
Kalau memang sekarang ini perpustakaan memiliki OPAC (yang hadir tahun 1970-an), atau sistem terintegrasi (juga sudah hadir sejak 1980-an), dan situs (sudah hadir dalam bentuk sederhana sejak 1990-an) … ngapain aja Pustakawan selama ini?
Sumber : duniaperpustakaan.com
Kebergunaan Perpustakaan Digital
Penggunaan teknologi demi teknologi di perpustakaan tak menjamin kehadiran sebuah perpustakaan digital, selama belum ada bukti kebergunaan teknologi-teknologi tersebut bagi masyarakat. Setiap OPAC seharusnya meningkatkan kegiatan mencari koleksi. Setiap sistem terintegrasi seharusnya membuat pustakawan nyaman melayani masyarakat. Setiap situs perpustakaan seharusnya “membebaskan” informasi dari keterbatasan fisik.
Dengan kata lain, setiap upaya penggunaan teknologi informasi dan digital di perpustakaan seharusnya meningkatkan kuantitas maupun kualitas pemanfaatan koleksi dan jasa perpustakaan. Sebuah perpustakaan hadir di sebuah masyarakat karena kebergunaannya, bukan?!
Perpustakaan digital di Indonesia hanya dapat dikenali kehadirannya dalam bentuk penggunaan, baik yang berwujud kunjungan fisik maupun akses via jaringan komputer. Jika demikian, maka ukuran kecanggihan teknologi dan kehadiran komputer di perpustakaan tak akan lagi relevan. Lagipula, sebenarnya tak satu pun fungsi perpustakaan yang tergantikan oleh kehadiran komputer.
Tiga fungsi teknis perpustakaan, yaitu temu-kembali (retrieval), pelestarian(preservation), dan kerjasama (cooperation) atau jaringan (network), tetap ada sejak koleksi perpustakaan masih berupa tanah-liat sampai kini berupa pulsa/denyut elektrik. Masalah utama di bidang ini tetap sama: bagaimana pengguna dapat semakin mudah dan leluasa menemukan apa yang tersimpan di perpustakaan atau di luar perpustakaan, untuk memenuhi “dahaga” mereka akan informasi dan pengetahuan.
Dengan melihat secara umum kondisi di Indonesia, dapatlah kita menjawab pertanyaan di judul artikel ini dengan sedikit enggan: kehadiran perpustakaan digital belum terasa. Kehadiran Google justru lebih terasa.
Nilai Tambah Komputerisasi dan Aspek Sosialnya
Mari kita urai lagi secara lebih spesifik kebergunaan (atau potensi kegunaan) perpustakaan digital, agar jawaban di atas dapat terbantahkan kelak. Kita ambil salah satu fungsi dasar saja, yaitu fungsi temu-kembali (retrieval).
Dengan asumsi bahwa kartu katalog (dari kertas) sama bergunanya dengan OPAC yang diakses via Internet, di mana letak kelebihan teknologi komputer? Tentu saja pada efisiensi waktu dan juga efektivitas pencarian. Tanpa perlu menguraikan rincian teknis, kita tahu bahwa komputer mempercepat semua pemrosesan informasi, selain juga memungkinkan pembuatan tautan (link) yang amat meluas, serta pemilahan data yang amat terinci untuk membuat kategorisasi atau klasifikasi yang sangat “halus” (refined). Ini kelebihan yang tak mungkin dicapai oleh “teknologi kertas”.
Tetapi kelebihan ini mengandung pra-syarat cukup “berat”, yaitu akses ke komputer yang ajeg serta leluasa. Tanpa ini, teknologi OPAC bahkan bisa menjadi “penghalang”, sebagai mana yang terjadi di daerah-daerah yang tak terjangkau Internet, atau yang jaringannya lemot. Pendek kata, OPAC benar-benar tidak ada gunanya tanpa listrik atau Internet. Ini kenyataan “pahit” yang sangat sederhana, tetapi juga sangat relevan untuk kondisi infrastruktur telekomunikasi di Indonesia!
Terlebih lagi, semua infrastruktur juga mengandung aspek sosial. Saya akan coba jelaskan salah satu dari aspek itu berikut ini.
Ketika sebuah perpustakaan memutuskan membangun OPAC dan mengeluarkan dana cukup besar (bayar konsultan, bayar perangkat lunak, bayar birokrat pemimpin proyek) maka adalah wajar jika pertimbangan pertamanya adalah: apakah pengguna akan menjadi lebih leluasa. Jika sebuah OPAC hanya bersifat lokal, tidak diakses lewat Internet, maka sebaiknya pintu perpustakaan dibuka lebar-lebar, dan jumlah stasiun OPAC perlu berlipat ganda.
Tetapi keuntungan apa yang dapat diperoleh para pengguna dari stasiun-stasiun itu? Nah, pertanyaan ini memerlukan sedikit tinjauan terhadap aspek sosial (atau non-teknis) dari katalog.
Katalog perpustakaan secara klasik merujuk ke koleksi yang dimiliki (item on hold), sementara OPAC berpotensi menjadi mesin-penjelajah berkat teknologi hypertext-nya. Kita sering lupa, teknologi hypertextadalah “teknologi bahasa” dan semua persoalan bahasa tentunya adalah persoalan sosial (hubungan antar manusia). Sebuah OPAC dapat menjadi mesin-penjelajah (selain mesin-pencari), jika ia dapat menjelajahi semua kemungkinan tautan (link) yang berintikan tautan antar kata, istilah, atau terminologi.
Itu artinya, transformasi kartu-katalog menjadi OPAC bukan semata transformasi dari kertas ke layar komputer. Inti dari transformasi itu justru adalah perubahan mendasar (dan besar-besaran) terhadap cara kita memberlakukan bahasa! Lebih spesifik lagi: bahasa pencarian dan bahasa penemuan.
Perubahan ini harus terjadi di dua pihak: (1) pustakawan sebagai pengelola OPAC, dan (2) pengguna OPAC yang adalah masyarakat umum. Pustakawan pun mengandung berbagai pihak, sementara masyarakat umum amatlah beragam dari segi penggunaan bahasa. Keunggulan Google selama ini diperoleh dari hasil riset bahasa dan kebiasaan berbahasa masyarakat, serta aplikasi teknologi hypertextyang nyaris sempurna terhadap bahasa; bukan hanya bahasa Inggris yang mendominasi kandungan Internet, tetapi juga bahasa lain lewat “mesin penerjemah”-nya.
OPAC di berbagai perpustakaan di Indonesia tentu saja tak perlu menjadi Google, tetapi tetap perlu menjadi “mesin bahasa”. Para pengembang OPAC dan pustakawan sebaiknya lebih mendalami aspek bahasa dari sebuah sistem temu-kembali informasi (information retrieval). Memang, sebagai teknologi pangkalan-data (database), OPAC juga adalah mesin-logika yang menghandalkan matematika. Tetapi jangan lupa, sebuah pangkalan-data hanya berguna sejauh ia dapat mengolah (dan memahami!) kata, istilah, atau kode yang dikandungnya.
Tidak pada tempatnya kalau artikel ini dilanjutkan dengan uraian teknis tentang OPAC, metadata, klasifikasi, dan berbagai teori pengindeksan (indexing theories) yang bertebaran di berbagai buku teks dan artikel jurnal itu. Namun, mungkin tepat juga kalau saya mensinyalir bahwa justru di aspek inilah Pustakawan Indonesia sangat “kedodoran”.
Dan itulah salah satu (saja!) penyebab mengapa Perpustakaan Digital belum terasa kehadirannya di Indonesia.